
Oleh: Nurudin*
Terakota.id— “Puasa tahun ini biasa saja. Tak jauh beda dengan tahun-tahun kemarin, “kata teman saya saat Reuni SMA.
“Kok bisa? “tanya saya lebih lanjut.
“Bagaimana tidak? Saya hanya menjalankan ibadah puasa minimalis. Taraweh memang tidak bolong. Tadarus juga tidak meningkat dari tahun kemarin. Hampir sama. Lalu buka. Terus sahur.”
“Tenane?”
“Seolah puasa itu menyiksa saya. Tak produktif jadinya. Sekarang reuni, kemarin lusa lebaran. Ketemu teman dan keluarga. Senang. Lalu aktivitas kembali lagi seperti biasanya”.
Jawaban teman saya itu jujur. Jarang ada yang mengakui bahwa puasanya biasa-biasa saja. Yang biasa terdengar adalah, “Duh sedihnya ditinggal Ramadhan”, “Ya Allah pertemukan saya dengan Ramadhan di tahun depan”, “Ramadhan saatnya setan-setan Engkau belenggu, bagaimana nanti setelah puasa?” “Ya Allah, amalan hamba masih sedikit mengapa sebentar lagi Ramadhan pergi?” dan kalimat-kalimat ideal lainnya. Paling tidak bisa kita baca di status Whatsapp, line, twitter, facebook, instagram dan media sosial lain.
Apakah kenyataannya memang seperti itu yang dikemukakan penulis status tersebut? Saya tidak menjamin. Justru teman saya di atas berkata jujur kalau puasanya biasa saja. Masalahnya, banyak orang tidak jujur. Takut dianggap bukan muslim yang baik. Takut ada dugaan orang lain bahwa kita tak menjalankan ibadah puasa dengan benar. Takut dianggap tidak meningkat ibadah kita sementara orang lain meningkat ibadahnya. Minimal saat ini memakai jilbab, gamis, peci dan lain-lain atribut. Dan takut-takut yang lain.
Kalau hanya meningkat secara fisik itu gampang. Yang susah itu meningkatkan akhlak. Tadarus bukan tidak baik, tetapi bisa meningkatkan akhlak kita tentu jauh lebih baik. Sering memakai baju koko habis lebaran itu mudah, tinggal pakai saja, bukan? Terus jika sudah demikian kita menganggap sudah meningkat ibadahnya? Tentu tidak sesederhana itu. Tapi kita masih hidup dalam masyarakat pencitraan. Bagaimana tidak, elite politiknya saja mencontohkan demikian.
Justru saya salut dengan teman saya di atas. Ia jujur. Tidak berusama mencitrakan diri sebagai muslim yang hebat dalam beribadah. Dia apa adanya tanpa takut anggapan orang lain. Baru kali ini juga saya mendengar pengakuan jujur teman saya itu.
Ikhlas
Memang, kalau mau jujur jarang ada yang mengakui bahwa puasa itu nikmat. Puasa itu tentu menyiksa. Bagaimana tidak? Orang harus menahan diri dari banyak hal. Coba seandainya tidak ada perintah puasa, tentu manusia akan senang. Buktinya, setelah puasa selesai mereka berlomba-lomba meluaskan nafsunya (makan, boros, pamer dll).
“Hore, puasa selesai”, mungkin begini teriaknya. Bahkan diungkapkan dalam lagu, “Lebaran sebentar lagi. Hari yang dinanti-nanti”. Seolah puasa sebuah beban hidup.
Namun mengapa umat Islam tetap mau puasa meskipun tidak menyenangkan? Karena itu perintah Tuhan yang dipercayainya. Itu sebagai wujud ketundukan dan pengakuan dirinya sebagai makluk yang lemah. Ada kalanya ajaran agama itu diterima sebagai “sesuatu yang harus diterima”.
Ada kalanya bisa dirasionalisasi. Tak semua ajaran agama mudah dan bisa dirasionalkan. Puasa itu untuk Tuhan. Namun yang akan menerima ganjarannya tentu manusia sendiri. Manusia menitipkan ganjaran pada Tuhan, nanti dirinya yang akan mendapatkan. Tuhan aslinya tidak butuh apakah manusia mau puasa apa tidak.
Karena tidak menyenangkan, maka kewajiban puasa itu hanya diperuntukkaan untuk orang-orang beriman saja. Yang tidak beriman atau merasa tidak beriman boleh tak wajib berpuasa. Maka, jangan merasa jengkel pada teman yang tidak puasa. Puasa hanya untuk orang-orang beriman.
Sesuatu yang tidak manusia senangi tetapi ikhlas mengerjakan tentu pahalanya akan berlipat ganda. Ini memang tataran normatif. Tentu hanya mereka yang beriman saja bisa merasakan betapa keikhlasan menguntungkan banyak hal pada manusia itu sendiri. Jika sudah tidak suka, tetapi ikhlas mengerjakan puasa tentu pahalanya berlipat.
Wong sudah “dipaksa” untuk berpuasa agar manusia itu bisa menahan diri saja setelah lepas puasa mereka kembali ke “selera asal”, kok. Bagaimana jika manusia tidak “dipaksa” untuk menahan diri dengan berpuasa?
Puasa adalah jalan Tuhan. Dan hanya orang-orang beriman yang bisa merasakan. Tentu, puasa juga bisa meningkatkan kesadaran mental, lebih sehat dan lain-lain. Sekali lagi ini bisa dinikmati oleh mereka yang berpuasa dengan ikhlas saja. Jika berpuasa hanya ingin sehat, dia akan menuai sehat itu.
Ikhlas memang harus terus didengungkan dalam ajaran Islam. Ini menganalogikan bahwa sifat asli manusia itu susah untuk ikhlas. Sebab, berbuat ikhlas itu tidak mudah, maka terus dianjurkan. Puasa juga diwajibkan untuk orang beriman, karena pada dasarnya manusia tentu tidak mau berpuasa.
Sang Pemenang
Lepas Ramadhan dan Lebaran mengingatkan saya pada peristiwa perang Badar. Perang besar yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah (17 Ramadhan 2 H), perlawanan kaum Muslimin pada kaum Quraisy. Pasukan muslim berjumlah 313 orang yang harus menghadapi 1000 orang kafir Quraisy. Kemenangan pertama umat Islam itu membawa korban 14 orang (pasukan Muslim) dan 70 orang (pasukan Quraisy, termasuk Abu Jahal).
Yang ingin saya tekankan bukan jumlah korban, kemenangan atau taktik perang. Tetapi penegasan Rasulullah setelah perang. Rasulullah menganggap perang Badar sebagai perang kecil. Sementara itu perang besar baru dihadapi setelah perang Badar selesai. Saat itu banyak sahabat yang bertanya-tanya karena bagi mereka perang Badar itu perang besar. Rasulullah kemudian menekankan bahwa perang besar setelah perang Badar adalah perang melawan hawa nafsu.
Lebih menarik lagi apa yang dilakukan Rasullah pada tawanan dan kaum Quraisy. Seusai perang, Rasulullah memperlakukan kuam musyrik dengan baik, memulihkan harga diri mereka yang hancur akibat perang Badar. Ini contoh teladan yang jarang dicontoh oleh umat Islam.
Pemilu memang bukan medan perang Badar. Juga bukan pertempuran kaum Muslim dengan Quraisy. Pemilu itu hanya sebagian kecil perhelatan politik yang memunculkan perbedaan sudut pandang dalam mempertahankan atau merebut kekuasaan. Tetapi, analogi perang Badar bisa dijadikan gambaran sederhana pada konstelasi politik Indonesia.
Bangsa ini habis “perang”. Sebagaimana analogi perang badar, Pemilu 2019 itu hanya perang kecil. Perang besar itu justru setelah Pemilu usai. Pemilu selesai setelah semua tahapan dilakukan. Namun perang besar menahan nafsu politik inilah perang besar dalam politik Indonesia sesungguhnya. Jika nafsu-nafsu tamak pada kekuasaan sudah dilakukan saat menjelang dan Pemilu, habis Pemilu nafsu-nafsu itu tentu harus ditahan. Perang besar bangsa ini adalah perang besar menahan nafsu pada kekuasaan.
Puasa sudah dilaksanakan. Tapi apakah kita bisa meleksanakan spirit puasa dengan menahan nafsu? Jika kemudian nafsu-nafsu pada kekuasaan tak terbendung jangan-jangan puasa kita juga biasa-bisa saja, hanya menahan nafsu makan dan minum semata. Nafsu mempertahankan kekuasaan dengan membabi buta dan merebut dengan cara anarkhi. Nafsu-nafsu inilah yang sebenarnya perlu dibelenggu.
Termasuk bagaimana memperlakukan pihak yang kalah dengan arif dan bijaksana sebagaimana dicontohkan Rasulullah pasca perang Badar? Para pencaci perlu mencontoh perilaku ini. Rasulullah bukan sekadar pemimpin umat Islam, tetapi contoh pemimpin negara dalam pemerintahan sebagaimana negara modern saat ini.
Para pendukung kelompok ang menang tentu harus menahan diri. Tidak usah jumawa, memuja memakai kacamata kuda, menyindir kasar yang menyakitkan mereka yang kalah. Kelompok pemenang harus bisa membangkitkan harga diri yang kalah sebagaimana Rasulullah contohkan. Yang kalah harus berbesar hati. Hukum tentu harus dihormati. Bagaimana jika hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah? Lambat laun harus diperbaiki. Karena hukum di negara kita hanya ciptaan manusia dengan berbagai macam kepentingan. Tentu punya kelebihan dan kekurangan.
Mereka yang berkuasa belum tentu bisa menegakkan hukum dengan baik, tetapi menyerahkan hukum pada kelompok lain juga tak ada jaminan. Yang jelas, setiap periode kekuasaan punya hukum-hukum sendiri sesuai kepentingannya. Karena kekuasaan itu tak lain adalah kepentingan. Saatnya, kita menebalkan semangat empati pada orang lain disertai semangat mewujudkan negara mandiri yang sudah semakin tergerus zaman. Alasannya, sejak merdeka negara ini masih terus “dijajah”.

*Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Penulis bisa disapa lewat Twitter/IG: nurudinwriter