Lagu Sendu dan Gerakan Literasi

Tak melulu dijejali kabar buruk. Kini, bermunculan perpustakaan dan taman baca. Di Malang Raya saja jumlahnya ratusan. Mereka berinovasi dan berkreasi demi mengakrabkan masyarakat untuk membaca dan menulis. Gubuk Baca Lentera Negeri di Jabung mengintergrasi perpustakaan dengan kegiatan kebudayaan.

Warga Desa Sukopuro, Jabung, Kabupaten Malang membaca aneka buku di Perpustakaan Anak Bangsa. (Foto ; koleksi pribadi).
Iklan terakota

Terakota.id–“Ibarat mendengarkan musik, kita lebih suka memutar ulang lagu-lagu sendu, patah hati atau hati yang terluka,” kata Guru Besar Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang, Djoko Saryono. Ia menyampaikan kepada Terakota.id akhir pekan lalu menanggapi rendahnya tingkat literasi di Indonesia. Ungkapan itu metaforik. Lagu sendu yang dimaksud ialah hasil survei yang menunjukkan literasi masyarakat Indonesia tengah terpuruk.

Medio Desember 2016, Progamme for International Student Assessment (PISA) 2015 meluncurkan survei tingkat literasi masyarakat Indonesia berada di urutan ke-64 dari 72 Negara. Hasil skor Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) atau Indonesia National Assessment Programme (INAP) 2016 juga menunjukkan hasil yang masuk kategori kurang.

Kemampuan matematika sebanyak 77,13 persen, kemampuan membaca 46,83 persen, dan kemampuan sains 73,61 persen. Sedangkan Central Connecticut State University (CCSU) asal Amerika Serikat juga merilis data bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, 9 Maret 2016. Indonesia berada di peringkat 60 dari total 61 negara.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, saat membuka Rakornas Perpustakaan 2018 di Perpustakaan Nasional Jakarta mengaku prihatin.  Lantaran minat baca yang rendah. Puan mengutip data Perpustakaan Nasional 2017 yang menyebut frekuensi orang Indonesia membaca buku rerata tiga sampai empat kali sepekan. Sementara jumlah buku yang dibaca rata-rata lima hingga sembilan buku per tahun. 

Djoko Saryono menegaskan lagu sendu tentang literasi itu tak perlu ditonjolkan lagi. Masih banyak hasil riset seputar literasi yang hasilnya menggembirakan. Deklarasi Dakar yang ditandatangani di Dakar, Senegal, tentang Pendidikan untuk Semua (Education for All) memasukkan literasi dalam salah satu program prioritas.

Program diukur menggunakan Education  for  all  Development Index (EDI), yang dikembangkan  oleh  UNESCO. EDI  suatu  negara dikategorikan  tinggi  apabila  EDI  ≥  0.95, Sedang 0.80 ≤ EDI < 0.95, dan Rendah EDI <  0.8. Rata-rata  capaian  EDI  Indonesia sejak 2011-2015 sebesar 0,963. Bahkan  pada  2015 capaian  EDI Indonesia sempat berada di posisi atas yakni 0,970.

Guru Besar Bahasa Indonesia yang juga penyair ini menunjukkan data The World Culture Score Index yang menempatkan Indonesia berada di urutan ke 16 dari 29 Negara. Dengan rata-rata enam jam sepekan yang dihabiskan warga Indonesia membaca buku. Djoko Saryono juga menyodorkan artikel di worldatlas berjudul List Of Countries By Literacy Rate. Artikel itu menyebut Indonesia berada di peringkat 106 dari 197 negara.

Anak-anak Desa Sukolilo, Jabung, Kabupaten Malang memilih buku koleksi pustaka keliling Gubuk Baca Lentera Negeri. (Foto : Fachrul Alamsyah).

“Penelitian atau survei seringnya gebyah uyah (memukul rata).  Kadang melihat hanya sekelebat. Nanti macan kumbang dikira kucing, karena hanya melihat posturnya,” ujar Djoko Saryono.

Ketua tim pakar literasi Gerakan Literasi Nasional atau Pengembang Baca Tulis Penguatan Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini tak menafikan pentingnya literasi bagi sebuah bangsa. Literasi tak ubahnya jantung bagi kehidupan bangsa. Sebagaimana membangun rumah, literasi adalah fondasi.

Literasi, kata Djoko, tak dapat dimaknai sebatas banyak membaca buku. Minat baca juga belum tentu sebangun dengan kecakapan baca. Djoko Saryono memaknai literasi sebagai proses panjang. Rentangnya mulai bebas buta aksara hingga terbangunnya kesadaran kritis. Aktivitas tulis-baca baru langkah pertama, sedangkan minat baca bukan literasi itu sendiri.

“Minat baca itu baru merangkak awal, kecenderungan untuk mendekati atau menjauhi kegiatan membaca,” ucap Djoko.

Mendekatkan Masyarakat dengan Buku

Sekitar 20 menit dari pusat Kota Malang, berdiri sebuah perpustakaan yang diperuntukkan untuk publik. Lokasi perpustakaan berada di kaki Gunung Semeru di Desa Sukopuro, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Untuk menuju perpusatakaan Anak Bangsa ini harus melalui gang sempit yang hanya bisa dilintasi dua motor yang saling berpapasan.

Bangunan perpustakaan boleh sederhana, tapi menyimpan kemewahan yang tak terkira. Rak buku penuh sesak aneka buku tertata di sekeliling dinding, mengitari ruangan. Di depan pintu masuk, rak penuh buku memanjang membelah ruangan. Lantai dan kolong meja juga menumpuk aneka jenis buku. Belum ditata.

Pendiri Perpustakaan Anak Negeri Eko Cahyono menunjukkan buku koleksinya. (Terakota/HA. Muntaha Mansur).

Penggagas Perpustakaan Anak Bangsa Eko Cahyono bergegas menyambut, menyalakan lampu. Seketika ruangan bercat warna-warni terlihat terang. Sejumlah foto, sertifikat, dan piagam, menempel di dinding. Prestasi ini ditorehkan berkat perpustakaan yang didirikannya.

“Haram mempercayai survei itu. Sebanyak apapun perpustakaan yang tumbuh, survei tidak akan berubah,” ujar Eko bernada tegas.

Ia tak mau ikut menghakimi masyarakat berdasar survei tingkat literasi. Baginya, masyarakat justru sedang mengalami kesenjangan akses terhadap buku. Tidak banyak buku yang sampai di hadapan masyarakat.

“Selama kebijakan perbukuan tidak berpihak pada rakyat, tingkat literasi ya begitu-begitu saja. 21 tahun saya bergelut di perpustakaan. Masyarakat tak menolak jika ada yang memberi buku,” kata Eko.

Dirikan Perpustakaan setelah Dipecat

Krisis ekonomi 1998 merontokkan banyak perusahaan. Tak terkecuali Eko Cahyono yang menerima kenyataan dipecat dari tempatnya bekerja. Dia dipecat saat berumur 18 tahun. Aksi demonstrasi meluas menuntut Presiden Soeharto turun. Gerakan mahasiswa ini menginsipirasinya untuk berbuat untuk masyarakat di lingkungannya.

Bermodal 400-an majalah bekas, Eko Cahyono merintis perpustakaan dari rumah orang tuanya. Susah payah mengumpulkan buku dan menjajakan dari pintu ke pintu. Setidaknya dua kali dalam sepekan, membuka perpustakaan keliling. Cara ini mujarab, banyak masyarakat mengenal lantas berkunjung ke perpustakaannya. Sembilan kali berpindah tempat, termasuk menempati sebuah gubuk bambu sebelum menempati bangunan permanen seperti sekarang.

DISKUSI. Kepala Perpustakaan Universitas Negeri Malang Djoko Saryono, Pendiri Pataba Soesilo Toer dan pendiri Ruang Baca Aqil Willy Ariwiguna dalam diskusi perpustakaan> Diskusi dalam rangkaian Pameran Sejuta Buku, Ketemu Buku #2 di Taman Krida Budaya Jawa Timur. (Terakota.id/Eko Widianto)

Kini perpustakaannya memiliki koleksi sekitar 63 ribu eksemplar buku. Beragam tema dan judul, terutama disesuaikan dengan kebutuhan pembacanya. Seperti perpustakaan di kawasan pesisir, seharusnya menyediakan buku usaha konservasi terumbu karang, teknik budidaya ikan, pengolahan ikan atau teknik membuat jaring.

Sebaliknya, ia menemukan sebuah perpustakaan di pesisir yang menyediakan buku ensiklopedia berbahasa Inggris dan kitab tafsir. “Seharusnya masyarakat didekatkan dengan buku yang sesuai dengan kehidupan mereka,” imbuhnya.

Sedangkan perpustakaan yang dikelola pemerintah tak mudah diakses masyarakat. Pengunjung dilarang berkaus oblong, sandal jepit, memakai jaket, dilarang berbicara dan sebagainya. Peminjaman buku dibatasi maksimal dua buku selama tujuh hari. Jika terlambat mengembalikan didenda.

“Masyarakat terintimidasi dengan aturan. Seolah pemerintah lebih suka buku tetap baru dan bagus dibanding rusak dibaca masyarakat,” kata Eko dengan nada menyindir.

Perpusatakaan buka Senin-Sabtu sedangkan kebanyakan masyarakat bekerja. Seharusnya hari libur, dan akhir pekan perpustakaan harus tetap buka. Kalau bisa, katanya, perpustakaan buka 24 jam. Fasilitias yang nyaman juga penting. Masyarakat, katanya, tidak bisa dipaksakan untuk membaca, namun bisa dibiasakan.

Perpustakaan Bak Jamur di Musim Hujan

Tak melulu dijejali kabar buruk. Kini, bermunculan perpustakaan dan taman baca. Di Malang Raya saja jumlahnya ratusan. Mereka berinovasi dan berkreasi demi mengakrabkan masyarakat untuk membaca dan menulis. Gubuk Baca Lentera Negeri di Jabung mengintergrasi perpustakaan dengan kegiatan kebudayaan.

Gubuk Inspirasi menarik minat masyarakat melalui parenting. Ada pula Kampung Sinau Cemoro Kandang yang diselaraskan dengan kegiatan bermusik dan berteater. Serta Taman Baca Masyarakat Teras di Bunul yang lebih menonjolkan teknologi informasi.

“Kalau aku lebih konsentrasi memperbanyak koleksi buku agar masyarakat tertarik datang. Buku  yang sedang populer dan dibicarakan harus segera ada di rak,” kata Eko.

Aril khusuk membaca buku di sudut gubuk baca gang tato. Teman sebayanya turut melahap buku dan bermain. (Terakota.id/Eko Widianto)

Beragam aktivitas pendukung juga kerap digelar. Mulai nonton bareng, lomba melukis dan mewarnai, lomba baca puisi, bermain alat musik tradisi, sampai penyuluhan tentang bahaya narkoba. Harapannya, dengan begitu masyarakat akan tertarik lalu terbiasa ke perpustakaan.

Tumbuh kembangnya perpustakaan, menurut Djoko Saryono, turut berkontribusi menumbuhkan budaya literasi. Budaya literasi lebih kompleks dan ditopang beberapa dimensi: dimensi material, sosial, dan simbolik.

Dimensi sosial dapat dilihat dari kesadaran betapa bernilainya membaca. Lalu, memantul menjadi cara berpikir dan mengedepankannya dalam kehidupan. Kalau dimensi simbolik, bisa dinilai dari ada tidaknya apresiasi terhadap mereka yang menulis, seperti lahirnya kelompok baca.

“Perpustakaan, harga buku, sarana prasarana, itu dimensi material. Buku, perpustakaan adalah alat-alat untuk merealisasikan kesadaran kritis” kata Djoko menjelaskan.